Paradigma kritis transformatif (PKT) adalah sebuah paradigma yang sampai
hari ini masih dipilih oleh PMII, sebagai problem solver kompleksitas
permasalahan zaman yang dihadapi. Pemilihan PKT sebagai paradigma
pergerakan bukan lah tanpa alasan, dan tentunya ada pra kondisi yang
menjadikannya muncul sebagai soft ware pergerakan.
Tercatat dalam sejarah PMII, di samping PKT ada paradigma
lain yang pernah dipilih oleh PMII, yaitu paradigma Arus Balik
Masyarakat Pinggiran (tepatnya dimulai pada eranya Sahabat Muhaimin
Iskandar sebagai Ketum), sampai pada akhirnya dianggap kurang relevan
lagi dan tergantikan dengan PKT (periode sahabat Syaiful Bahri Anshari).
Masing-masing model paradigma adalah satu bentuk ikhtiar;
jawaban atas zamannya. Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran
semisal, dilatar belakangi oleh kondisi sosio-politik bangsa (rezim
orba) yang represif dan sangat tidak memihak terhadap—apa yang disebut
PMII dengan—kaum mustadl’afiin (proletariat). Paradigma Arus Balik
sangat bernada sangat frontal dalam “mendengungkan” anti kemapanan—lebih
jelasnya anti ketidak adilan dan penindasan.
Gerakan perlawanan Paradigma Arus Balik, di kemudian hari,
dilanjutkan dengan Paradigma Kritis Transformatif. Pada prinsipnya,
dasar dari kedua paradigma ini tidaklah jauh berbeda, karena
permasalahan zaman yang dihadapi relatif sama.
Ta’rif PKT
Dalam memahami Paradigma Kritis Transformatif, pertama kali marilah kita
membedah satu persatu tiga kata yang membentuk frasa tersebut, yaitu
“Paradigma”, “Kritis”, dan “Transformatif”.
What is Paradigm?
Dalam kamus ilmiah populer, disebutkan bahwa arti paradigma itu sendiri
adalah contoh; teladan, pedoman; dipakai untuk menunjukkan gugusan
sistem pemikiran; bentuk kasus dan pola pemecahannya. Adalah Thomas
Khun, tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah paradigma. Awalnya
istilah ini dipakai dalam kajian ilmu fisika karena dia sendiri lebih
dikenal sebagai seorang scientist. Meski yang pertama memunculkan
istilah itu, Khun belum memberi ‘tawaran’ yang jelas mengenai definisi
paradigma. Tetapi, secara implisit, menurut George Ritzer dalam bukunya
menyebutkan bahwa Khun sudah cukup menjelaskan apa itu paradigma.
George Ritzer sendiri mencoba mengartikan paradigma sebagai gambaran
fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma
membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang
mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya, dan apa aturan yang
harus diikuti dalam menafsirkan yang diperoleh. Paradigma adalah unit
consensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan
satu komunitas ilmiah(atau subkomunitas) tertentu dari komunitas yang
lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan, dan menghubungkan eksemplar,
teori, metode, dan instrument yang ada di dalamnya. (Ritzer, 1975 a: 7).
Paradigma dapat membantu untuk membedakan antara satu komunitas ilmiah
tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma dapat digunakan
untuk membedakan antara periode historis yang berlainan dalam
perkembangan ilmu tertentu. Tetapi paradigma juga dapat digunakan untuk
membedakan antara kelompok-kelompok yang mempunyai kesamaan pemahaman
(cognitive) di dalam bidang ilmu yang sama.
Pada kenyataanya banyak tokoh khususnya para sosiolog, yang berusaha
memberi definisi yang tepat terhadap kata paradigma. Tetapi, dari situ
kita dapat mengambil kesimpulan (sementara) atau paling tidak menangkap
poin penting, bahwa istilah paradigma merujuk pada bagaimana kita
‘melihat’ realitas. Lebih sederhana lagi, paradigma tak ubahnya seperti
kacamata untuk melihat, memaknai, serta menafsirkan realitas, terutama
dalam kasus PMII adalah realitas sosial-masyarakat. Dan jika paradigma
diaplikasikan secara massif maka kemudian akan menuai respon berupa,
arahan dalam bergerak.
Teori Kritis
Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah tajam, tegas
dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam.
Kata kritis diidentikkan dengan ‘pembacaan’ atas sesuatu. Seperti halnya
kata paradigma, kata ‘kritis’ seringkali digunakan dalam berbagai
konteks. Tetapi, teori kritis pada saat ini lebih dimaksudkan sebagai
teori yang digunakan untuk menganalisa secara tajam dan teliti terhadap
realitas.
Jika dilihat secara historis, munculnya istilah kritis sangat
berhubungan erat dengan gerakan filsafat neo-marxian jerman, yaitu yang
biasa disebut dengan Madzhab Frankfurt. Horkheimer lah yang pertama kali
memunculkan istilah ini.
Teori Kritis, dijelaskan dalam Teori Sosiologi Modern, adalah produk
sekelompok neo-Marxis Jerman yang tak puas dengan keadaan teori Marxian,
terutama kecenderungannya menuju apa yang mereka sebut determinisme
ekonomi. Pada tahapan selanjutnya gerakan ini pun menjadi faham yang
terlembagakan dalam The Institute of Social Research, Frankfurt Jerman.
Adapun tokoh utama madzhab Frankfurt adalah Max Horkheimer (1895-1973),
Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979)
yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu
Jurgen Habermas.
Kritik utama madzhab Frankfurt adalah kehidupan sosial dan intelektual
pada saat itu, Mereka berusaha mengungkapkan sifat masyarakat secara
lebih akurat (Bleich, 1977). Lebih detail lagi, beberapa kritik yang
disuarakan oleh Madzhab Frankfurt adalah kritik terhadap teori Marxian
(determinisme ekonomi), positivisme (generalisasi ilmu pengetahuan),
(gerakan) sosiologi (pro-status quo), dan kritik terhadap masyarakat
modern (yang individualis dan sangat dehumanis).
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis
dengan empat hal :1. Berpikir dalam totalitas (dialektis); 2. Berpikir
empiris-historis; 3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis; dan 4.
Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja. Pada dasarnya
mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideologi atau kritik
dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun
juga pada ideologi dominan dalam masyarakat. Teori Kritis berangkat dari
empat sumber kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant,
Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
Jika kita sederhanakan, teori kritis adalah teori yang bukan
hanya sekedar pembacaan pasif terhadap problem realitas, tetapi lebih
bersifat emansipatoris. Dan teori yang emansipatoris harus memenuhi
minimal tiga syarat : Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap
segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara
historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga,
tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai
semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
Kritis yang Transformatif
Kritis saja tidak lah cukup tanpa diimbangi dengan
transformatif, sebab kritis hanya sebatas proses analisis, yang tentunya
masih ‘abstrak’ dan perlu dikristalkan menjadi wujud konkret (gerakan).
Paradigma kritis sebagaimana uraian di atas, adalah sebuah alat
analisa. Ia baru menjawab serial pertanyaan ‘kekinian’ modernitas. Ini
baru sampai pada logika dan mekanisme working-system yang menciptakan
relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum
mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial
tersebut; strategi mentransformasikannya. Oleh karena itu
‘transformatif’ dihadirkan dalam rangka melengkapi kemandegan pasca
‘analisa’ atau kontemplasi.
Transformatif adalah adjective dari kata transformasi yang
secara leksikal mempunyai arti pengubahan atau perubahan bentuk. Makna
transformatif kurang lebih adalah proses pengubahan dari satu
bentuk—yaitu berupa gagasan atau ide dan sistem gerakan—menjadi bentuk
baru yang mampu menjamah realitas masyarakat; pada wilayah tindakan
praksis. Contoh-contoh transformasi antara lain adalah: transformasi
dari elitisme ke populisme, dari Negara ke Masyarakat, dari struktur ke
kultur, dari individualisme ke massa, atau dari hedonisme ke altruisme.
‘Transformatif’ dimunculkan tidak lain adalah dalam rangka
membumikan atau memanifestasikan paradigma kritis. Sehingga, paradigma
kritis tidak menjadi sebuah utopia, yang melayang-layang dan jauh dari
sasaran.
PKT PMII; antara latah dan ‘kesadaran memilih’ (?)
Pada esensinya PKT hanyalah produk pemikiran para
intelektual baik Barat maupun Timur. Yang pasti ia dipandang sekuler
oleh khalayak, dan bahkan dipandang sebelah mata khususnya oleh golongan
kanan. Meski begitu, PMII justru sangat merespon PKT dengan
mengaplikasikannya dalam menjawab problem realitas sosial khususnya yang
dihadapi PMII. Dan tentunya, PMII juga melakukan filtrasi atas PKT.
PKT bagi PMII bukanlah hal yang dogmatis dan dianggap
‘final’. Ia hanyalah sebuah ‘alat yang kebetulan dipilih’ PMII. Memang
ada bebarapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih PKT sebagai
dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara
pandang dalam melakukan analisa.
Alasan pertama adalah masyarakat Indonesia sedang
terbelenggu oleh kekuatan represif imperialis kapitalisme modern di satu
sisi dan di sisi lain masyarakat dikondisikan untuk berfikir ala
positivistik-modernisme yang elitis-individualis dan serba instan. Dalam
hal ini PKT menjadi sebuah ‘jurus jitu’ untuk melawan ‘berhala’
modernitas yang sudah menjadi sesembahan.
Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, baik etnik,
tradisi, budaya, agama maupun kepercayaan. PKT oleh PMII dianggap cocok
untuk merepresentasikan dan memposisikan keplurala tersebut, karena ia
dipandang inklusif-humanis. Dengan PKT diharapkan individu-individu atau
kelompok-kelompok mempunyai kesempatan yang sama dalam bereksplorasi
tanpa saling merugikan dan mengganggu.
PKT oleh PMII juga dipilih untuk melawan secara frontal terhadap system
politik rezim Orde Baru (ORBA) yang represif, otoriter dan menghegemoni
masyarakat (baca: mustadl’afiin). Dalam kasus ini, memposisikan PKT
(critical paradigm) vis a vis dengan paradigma keteraturan (order
paradigm)—yang dipakai pemerintahan ORBA—sangatlah tepat.
Selain masalah sosial-politik, PKT juga dihadirkan dalam rangka menjawab
realitas keberagamaan dan sikap terhadap tradisi yang sangat
tekstualis-dogmatis, sehingga pemahaman dan tindakannya sangat reduksif;
‘kering dan ganjil’. Dalam hal ini, PMII meniru semangatnya tokoh
‘kiri’ Islam, seperti Hasan Hanafi, Mohammad Arkoun, Nasir Hamid Abu
Zaid, Abid Aljabiri, Asghor Ali Engiiner, dll. Dan masih masih banyak
alasan lain yang mengharuskan kenapa harus ber-PKT.
Pada intinya, PKT ‘ada’ adalah dalam rangka menghapus
dehumanisasi, dan menggantinya dengan upaya menegakkan harkat dan
martabat kemanusiaan dari bermacam belenggu kepicikan modernisme. Dan
jika kita amati, PKT PMII sangatlah mewarisi semangat yang terkandung
dalam Islam; terutama ahlusssunnah wal jama’ah.
PKT, masih relevankah?
Pertanyaan ini sengaja saya munculkan dalam rangka refleksi
atas “kinerja” PKT PMII selama ini. Ini sangat penting, mengingat PKT,
seperti ulasan di atas, adalah produk pemikiran manusia dan juga
mengingat realitas yang dihadapi selalu berubah-ubah dan justru lebih
kompleks ‘menantang’. Oleh karena itu, bisa saja PKT tidak relevan lagi
dan harus diganti dengan paragma baru yang dianggap lebih cocok untuk
menjawab problem ‘kekinian’, ataukah hanya perlu meng-up date nya
kembali.
Sebenarnya keberadaan PKT pernah dipertanyakan ketika Gus
Dur—yang notabene dianggap ‘representatif-inklusif’ (pejuang civil
society) oleh PMII—terpilih sebagai presiden RI pada November 1999. Hal
ini menyisakan berbagai macam pertanyaan di kalangan PMII. Sehingga,
menjadikan PMII serba dilematis, apakah PMII dengan PKTnya, masih tetap
mendengungkan semangat perlawanan frontal, sebagaimana yang dilakukan
terhadap pemerintahan sebelumnya (baca: ORBA). Menjadi oposisi kah atau
justru memilih berada pada posisi ‘mapan’ dan pro-status quo; sungguh
dilematis. Apa lagi pada saat ini, tentunya masalah nya sudah beda lagi:
Masih relevankah? Mari kita dialektikakan dalam forum-forum
diskusi, dan yang lebih penting adalah dalam menjalani ‘proses
perjuangan’ di PMII, kemudian barengi dengan refleksi.
Buktikan sahabat…………………..
Sahabat-sahabatilah yang lebih berhak menjawab…………..
Tangan terkepal dan maju kemuka, maju terus PMII. Terus bergerak, lanjutkan perjuangan…….(oyi……?!!!)
Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thoriiq……..
Sumber: http://winberkarya.blogspot.co.id/2013/11/berfikir-kritis-berperilaku.html
0 komentar:
Posting Komentar